Islam menganut faham bahwa manusia itu bisa tahu. Perkataan bisa perlu digaris bawahi dan ditekankan, karena ada epistemologi lain yang mengatakan bahwa manusia itu tidak bisa tahu. Itulah epistemologi kaum Sophist yang pernah ada sebelum kelahiran para failusuf klasik seperti Socrates, Plato dan Aristoteles yang menolaknya. Dalam hal ini epistemologi Islam setuju dengan ahli-ahli filsafat klasik tersebut.
Namun epistemologi Islam jauh lebih tinggi dari epistemologi para ahli filsafat itu, karena mereka berhenti pada sumber panca indra dan akal manusia saja untuk tahu, sementara epistemologi Islam menyempurnakan pengetahuan yang dicapai oleh indra dan akal manusia dengan satu lagi sumber ilmu yaitu wahyu atau istilah teknisnya masuk dalam kategori `khabar sadiq' (berita yang benar).
Khabar sadiq terbagi kepada dua: khabar mutawatir dan khabar al-rasul al-mu'ayyad bi al-mu'jizah. Khabar mutawatir artinya berita yang disampaikan oleh orang banyak dari satu generasi ke generasi lain yang akal kita menafikan bahwa mereka bersekongkol untuk berbohong mengenai berita itu.
Contoh khabar mutawatir adalah adanya Aristoteles. Kita bisa tahu bahwa Aristoteles itu ada melalui khabar mutawatir. Sementara khabar sadiq yang lain adalah berita dari Rasul yang didukung oleh mu'jizat. Khabar jenis ini adalah berita-berita mengenai wahyu yang diterima oleh Rasulullah saw. yang terkumpul dalam al-Qur'an dan juga al-Hadis. Jadi selain menerima indra dan akal sebagai sumber ilmu, kita juga menerima berita yang benar dari Rasul sebagai sumber ilmu. Kadang-kadang indra dan akal kita tidak bisa membuat keputusan yang pasti tentang sesuatu pengetahuan, maka peranan wahyu adalah untuk memastikannya.
Contohnya mengenai berita bahwa akan ada hidup setelah mati, hal ini tidak bisa dipastikan dengan akal atau panca indra. Akal hanya bisa mengatakan mungkin ada hidup setelah mati, tetapi berita dari Rasul memberi kepastian bahwa hidup setelah mati itu adalah pasti, dan bukan hanya sekeder kemungkinan. Karena tujuan ilmu itu adalah untuk mencapai kepastian dan keyakinan, maka panca indra dan akal saja tidak sempurna untuk mencapai tujuan ilmu tadi. Inilah diantara faham ilmu dan epistemologi Islam.
Adapun epistemologi Barat, faham ilmu mereka bercampur aduk. Sebagiannya Sophists, sebagiannya lagi Positivists / Empiricists, sebagian yang lain Rationalists, sementara sebagian yang lain lagi Dualists, yaitu tidak bisa menyatukan antara sumber ilmu: wahyu dan akal, dll. Selain bercampur aduk, epistemologi Barat juga mengandung pertentangan satu sama lain.
Contohnya golongan positivist tidak setuju dengan golongan rationalist; golongan sophist menyalahkan positivist dan rationalist, dll. Pendeknya epistemologi Barat itu ibarat faham syirik yang mencampurkan berbagai faham ilmu yang berbeda-beda tanpa bisa menyatukannya. Meskipun wahyu dapat diterima oleh agama (Kristen dan Yahudi) di Barat, tetapi wahyu tidak diletakkan pada sumber yang paling tinggi dalam faham ilmu mereka.
Akibatnya orang-orang Barat yang tidak beragama senantiasa dalam pencarian tanpa henti untuk mencapai ilmu yang bisa memberikan kepastian dan keyakinan. Padahal ilmu yang seperti itu hanya ada pada agama yang telah mereka tinggalkan.
0 komentar:
Posting Komentar