
Ritual Kebo Keboan
Ritual Kebo-keboan adalah prosesi upacara, dimana para pelaku
pelakunya berdandan dan berperi laku seperti kerbau. Dalam perayaan
tersebut para pelaku kerbau digunakan untuk membajak sawah, dan
berkeliling desa. Tempat membajak sawah tidak harus disawah, tetapi bisa
di jalan desa atau ditanah lapang yang sudah diairi lebih dahulu,
tergantung kesepakatan para pemangku desa. Prosesi ini dilaksanakan pada
bulan Suro, antara tanggal satu atau sepuluh, tetapi pada akhir akhir
ini disesuaikan dengan hari libur.Tidak semua desa asli Banyuwangi
menyelenggarakan perayaan ini. Desa desa penyelenggara ritual Kebo
Keboan kebanyakan terletak dalam cakupan bekas bekas istana terakhir
kerajaan Blambangan,Macan Putih, Lateng, dan Bayu, yang untuk
selanjutnya kita sebut daerah Golden Triangle, karena pada daerah inilah
sebenarnya tradisi dan adat istiadat, peradaban Blambangan, masih
tersimpan rapi ibarat harta pusaka yang sangat bernilai. Desa itu adalah
Aliyan, Alasmalang ( Wonorekso), Geladak, Lemahbang dewo, Watukebo,
Tambong, Bubuk ,dll.
Jika kita menanyakan pada para pemangku adat didesa tersebut tentang
asal usul ritual Kebo Keboan, mereka pasti hanya menjawab bahwa mereka
melaksanakan itu karena para sesepuh mereka telah melaksanakan ritual
itu, dan mereka mengikuti acara ritual itu, sebagai kepatuhan kepada
adat yang telah berlaku, dan berharap agar tidak ada musibah di desa
mereka,dan panen ditahun mendatang lebih baik.
Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar ,karena desa desa
penyelenggara itu, masyarakatnya telah menjadi muslim, yang cukup taat
dan tidak ada ritual seperti itu dalam budaya muslim lebih dari itu
mengapa prosesi itu hanya terjadi pada daerah Golden Triangle bekas
istana Blambangan
Upacara Hindu atau Lambang Kerajaan.
Jika menilik pelaksanan upacara Kebo Keboan tersebut pada desa yang
masih dalam cakupan istana Kerajaan Blambangan mungkinkah ada hubungan
dengan kegiatan istana atau dengan upacara agama Hindu? Kerajaan
Blambangan memang diketahui sebagai kerajaan Hindu yang kuat, dan
masyarakatnya adalah penganut Hindu yang teguh, karena didaerah
Blambangan terdapat gunung yang disucikan oleh ummat Hindu mulai pada
zaman Singosari sampai saat ini yaitu Gunung Semeru.
Kerbau dalam keyakinan Hindu adalah Sang Hyang Nandini tunggangan
/hewan kesenangan Dewi Durga Mahisasuramardani, permaisuri Dewa Siva ,
salah satu dari pemimpin para Dewa yang diagungkan oleh ummat Hindu.
Dalam kitab kitab Purana, salah satu kitab tentang ajaran Hindu , Dewi
Durga Mahisasuramardini, digambarkan bertangan delapan bersikap
Tribhangga, empat tangan kanan memegang cakra berapi, sara,sara,serta
seekor kerbau, dan empat tangan kiri masing masing memegang
sangkha,pasa, dan pasa lagi serta rambut asura. Pada tangan kanan adalah
lambang kebajikan yaitu penguasa tanaman dan kesuburan terdapat
lambang seekor kerbau atau Sang Hyang Nandini , dan tangan kiri sebagai
lambang angkara murka pembinasa Asura dan menguasai berbagai penyakit
menular.[1]
Meskipun Sang Hyang Nandini dimulyakan tetapi tidak ada satu prosesi
yang dilakukan untuk nya, baik pada masa Hindu Kuno maupun Hindu saat
ini.
Salah satu sumber terkuno yang menyebut adanya pemuliaan kepada
KERBAU yang dilakukan dalam arak arakan adalah kitab Negara Krtagamama.
Dalam kitab itu ditulis bahwa apabila ada perajaan besar di ibukota
Majapahit, maka para wakil penguasa dari empat penjuru mata angin
yang ikut dalam upacara itu dan masing mengibarkan lambang lambang
tanda kebesarannya. Dan penguasa yang menggunakan Lambang Kerbau
adalah raja Lasem atau Baginda Raja Manahun.Inilah kutipan
selengkapanya dari Negara Krtagama.
Tanda tanda kebesaran ;bait 71.[2]
- Semua kereta Baginda Raja Pajang bergambar lukisan matahari yang indah
- Adapun kereta baginda raja Lasem semua bergambar lembu putih gemerlapan.
- Baginda Raja Daha keretanya bercirikan Adaha Kusuma Mas mengkilat,
- Terutama pula Baginda Raja Jiwana semua keretanya bercirikan gringsing –lobeng luwih(merah berhias lukisan mas tirai dan tabirnya)
Macam persembahan :Bait 256.[3]
- Baginda Raja Paguhan yang pertama mempersembahkan sesaji santapan yang amat lezat,
- Baginda Paguhan juga membawa kain kain yang halus serta sirih tersusun bagai pohon pohonan
- Baginda Raja Matahun mempersembahkan arca lembu putih seperti Nandini
- Lembu itu mengeluarkan uang dan makanan dari mulutnya tak putus putus sangat mengagumkan.
Raja Matahun adalah ayah permaisuri adipati Majapahit Kedaton Wetan Bhree Wirabhumi,[4]
dengan demikian patut diduga bahwa kerajaan ini berada dalam barisan
raja Matahun yang memuliakan Sang Hyang Nandini .
Majapahit Kedaton Wetan adalah daerah yang subur makmur dan menjadi
pusat lumbung pangan Majapahit, oleh karena itu disebut Balumbun.Dari
kata Balumbun[5]
yang berarti daerah memiliki banyak lumbung , muncul kata Blambangan.
Maka wajarlah kerajaan Majapahit Kedaton Wetan/Blambangan yang subur
dan makmur itu menggunakan lambang Kerbau.
Bukankah lambang Kesuburan itu Dewi Sri?
Jika dalam tulisan diatas disebutkan bahwa Kerbau adalah lambang
kebaikan dari Dewi Durga Mahisasumardani tetapi mengapa dalam perayaan
Kebo Keboan atau dalam upacara slametan sawah wong Blambangan lebih
mengaitkan dengan dewi Sri? Dalam ajaran Hindu kuno, yang tercantum
dalam kitab Purana , yang berkembang di India ( Jambudwipa) dewi Durga
Mahisasuramardani, permaisuri Dewa Siva, memiliki dua sisi yaitu
kebaikan dan kejahatan. Tetapi dalam pola pikir dan dasar kepercayaan
dalam masyarakat Jawa/ Nusantara atau Javadwipa/ Swarnadwipa, kebaikan
dan keburukan tidak mungkin bersatu. Oleh karena itu Dewi Durga akhirnya
menjadi lambang keburukan dan dikenal sebutan Bhatari Durga, sedang
lambang kesuburan adalah Dewi Shri Laksmi permaisuri Dewa Wisnu .
Pemisahan itu menjadi lebih jelas dan tegas pada zaman Raja Erlangga
(1020 -1042) dari Kahuripan/Singosari , yang melakukan revolusi
pemikiran keagamaan dan revolusi pertanian. Pada masa beliau ,
masyarakat Hindu Jawa berpindah dari menyembah Siva menyembah Dewa
Wisnu dan pada masa beliau dilakukan pembangunan pertanian secara besar
besaran ,yaitu memperbesar aliran sungai Brantas dengan membangun
bendungan/tanggul di kedua tepinya, serta merubah tanah rawa di muara
brantas menjadi tanah pertanian yang subur. Dengan karya beliau ini
,maka Brantas dapat dilayari sampai jauh kedalaman dan pertanian
berkembang pesat. Keberhasilan beliau membangun kerajaan yang aman
makmur , gemah ripah loh jinawi, beliau ditahbiskan sebagai titisan
/jelmanaan dewa Wisnu di Bumi, yang digambarkan dalam patung Garuda
Wisnu.Oleh karena itu permaisuri Dewa Wisnu , Sri Laksmi juga mulai
diagungkan dan sekaligus mengambil peran sisi baik Dewi Durga
Mahisasuramardini, yaitu dewi pertanian , dewi kesuburan dan
kemakmuran. [6].
Ketik masa Sanggramawijaya ( para raja Keturunan Ken Arok dan Ken
Dedes memerintah kerajaan Singosari, Majapahit, dan Blambangan)’
penyembahan terhadap Wisnu tidak dilakukan lagi . Pada masa itu , ummat
Hindu menyembah kembali Dewa Siva.Namun karena wangsa ini masih
mengaitkan dengan darah Erlangga ( Wangsa Isana) , maka pengagungan
terhadap Sri Laksmi tetap berjalan, maka terjadilah symbiose, lambang
kesuburan pertanian di lambangkan dua simbol yaitu Sang Hyang Nandini (
KEBO) dan Dewi Shri . Maka dalam perayaan kebesaran Kerajaan Blambangan
kedua lambang digunakan berdampingan, oleh karena itu dapat difahami
sebenarnya perayaan Kebo Keboan adalah pernyataan Blambangan adalah
kerajaan yang Subur Makmur .
Sunan Giripun membangun di Kebo Mas
Dengan uraian diatas jelaslah bahwa perayaan Kebo Keboan jauh dari
pengertian ritual keagamaan, karena sudah tidak berkaitan lagi dengan
upacara keagamaan,melainkan lambang kebesaran Blambangan.
Sebagai Lambang Kerajaan , maka lambang Kerbau sangat penting untuk
jati diri wong Blambangan. Maka tidak heran Sunan Giri , yang keturunan
darah biru Blambangan , beliau adalah buyut Bhre Wirabhumi ,
keturunan dewi Sekar Dalu dengan Sunan Wali Lanang/ Maulana IskaK
keturunan langsung dari Rasullulah, memulai kegiatan keagamaan, dengan
membangun pesantren disatu desa yang kemudian dijuluki Kebo Mas. [7]
Maka seharusnya difahami bahwa perayaan Kebo Kebo an, didesa desa
dalam kawasan Golden Triangle Istana Blambangan, adalah pesan penting
dari para leluhur Blambangan bahwa wong Blambangan mempunyai sejarah
yang panjang, jelas dan membanggakan.
Pesan ini bukanlah satu satunya pesan yang disampaikan oleh para
leluhur Blambangan, tentang perlunya wong Blambangan mengetahui jati
dirinya, tentu masih banyak lagi, yang harus digali , antara lain
legenda Sri Tanjung dan pangeran Sidapeksa yang sangat terkenal di
wilayah Golden Triangle,karena legenda Sri tanjung dan P.Sidapeksa telah
terpahat di candi Surowono yang didirikan pada zaman Singosari .
Maka tidak heran penulis sejarah bangsa Belanda Scholte dan Sir
Stanford Rafflees, yang mengetahui dengan detail sejarah suku ini
dengan hormat tetap menyebut suku ini sebagai SUKU BLAMBANGAN,[8]
[1] Seno Gumira Ajidarma , Nagabumi,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009. 106 dan Hariani Santiko Bathari Durga 1992, h.1
[2] Prof. Dr Drs I Ketut Riana.SU Nagara Krtagama, Kompas Media Nusantara, Jakarta,2009, 126
[2] Prof. Dr Drs I Ketut Riana.SU Nagara Krtagama, Kompas Media Nusantara, Jakarta,2009, 126
[3] Seni Gumbira Ajidarma ibid256
[4] Seno Gumbira ibid 66
[5] Pigeaud via Darusuparta, 1984:12-13
[6] Seno Gumira Ajidarma 0p cit 220
[7] Dr.Purwadi M.Hum, Dra Enis Niken M.Hum Dakwah Wali Songo Panji Pustaka 2007.
[8] Scholte (1927:146)
0 komentar:
Posting Komentar