Pada umumnya masyarakat menjelang tahun baru misalnya Tahun
Baru Masehi banyak melakukan kegiatan untuk menyambutnya. Kegiatan tersebut
biasanya tidak terlepas dari upaya instropeksi dan harapan-harapan. Instropeksi
dilakukan tentunya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan di tahun lalu, apakah
perbuatannya itu telah bermanfaat bagi dirinta sendiri dan masyarakat atau
justru merugikan orang lain. Jika masih banyak merugikan orang lain, tentunya
akan diperbaiki pada tahun baru ini, itulah harapan-harapannya.
Namun demikian, sebagai seorang muslim tetap harus hati-hati menghadapi adat-istiadat ini, agar tidak terjebak pada praktik-praktik yang sebenarnya bertentangan dengan syari’at Islam. Kendati tradisi telah di islamisasikan sedemikian rupa dan memiliki kesamaan dengan ajaran Islam, tidak berarti seratus persen sama dan terlepas dari upaya purifikasi. Seperi dipaparkan sebelumnya, yaitu tradisi satu suro yang dilakukan masyarakat Traji tidak terlahir dari rahim syari’at Islam, tentunya ada perbedaan-perbedaan tipikal dari tradisi asli Islam yang penulis rasa perlu untuk diketengahkan. Pada akhirnya harus dikembalikan oleh masyarakat itu sendiri sebagai pencipta budaya untuk memahami sebuah arti tahun baru.
Dalam perayaan Satu Suro di Desa Traji Sesaji diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halus seperti lelembut, demit, dan jin yang mbaurekso atau diam di tempat-tempat tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selain itu juga untuk memohonkan berkah dan memohonkan perlindungan dari yang mbahurekso agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan mahluk halus. Masyarakat desa Traji mempunyai kepercayaan jika adat tersebut tidak dilaksanakan maka masyarakat desa traji akan mengalami banyak kesulitan hidup seperti gagal panen, sumber air menjadi kecil, banyak orang sakit, sehingga tradisi ini terus dilestarikan. Adapun tradisi yang harus dihilangkan antara lain penggunaan sesaji dalam tradisi tersebut, karena sesaji yang disediakan hanya mengandung unsur mubazir semata.
Pada penulisan skripsi ini, penyusun menggunakan metode observasi dengan cara terlibat langsung ke masyarakat (penelitian lapangan) sehingga diperoleh data yang jelas untuk dianalisa dalam pandangan hukum Islam dan Hukum adat masyarakat Desa Traji. Melihat aspek-aspek penyesuaiannya dalam hukum Islam dan melihat aspek-aspek penyimpangan tradisi satu suro di desa traji tersebut dalam hukum Islam sehingga dapat diketahui kejelasan atau status hukum dari pelaksanaan tradisi tersebut. Penyusun berusaha memberikan solusi atau saran dalam rangka penyempurnaan terhadap tradisi yang dirasa aneh atau berbeda dengan daerah-daerah lain agar tidak terjadi ketimpangan dalam hal pelaksanaan ibadah.
Berdasarkan pendekatan dan metode yang digunakan, terungkap bahwa Tradisi Satu Suro di Desa Traji Kabupaten Temanggung keterpautan antara hukum adat dan hukum Islam dalam tradisi satu suro sangatlah erat, sebab ajaran Islam telah menjadi cara pandang masyarakat terhadap tradisi lama, bahkan hukum Islam sendiri telah menjadi adat sekaligus hukum adat bagi masyarakat.
Namun demikian, sebagai seorang muslim tetap harus hati-hati menghadapi adat-istiadat ini, agar tidak terjebak pada praktik-praktik yang sebenarnya bertentangan dengan syari’at Islam. Kendati tradisi telah di islamisasikan sedemikian rupa dan memiliki kesamaan dengan ajaran Islam, tidak berarti seratus persen sama dan terlepas dari upaya purifikasi. Seperi dipaparkan sebelumnya, yaitu tradisi satu suro yang dilakukan masyarakat Traji tidak terlahir dari rahim syari’at Islam, tentunya ada perbedaan-perbedaan tipikal dari tradisi asli Islam yang penulis rasa perlu untuk diketengahkan. Pada akhirnya harus dikembalikan oleh masyarakat itu sendiri sebagai pencipta budaya untuk memahami sebuah arti tahun baru.
Dalam perayaan Satu Suro di Desa Traji Sesaji diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halus seperti lelembut, demit, dan jin yang mbaurekso atau diam di tempat-tempat tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selain itu juga untuk memohonkan berkah dan memohonkan perlindungan dari yang mbahurekso agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan mahluk halus. Masyarakat desa Traji mempunyai kepercayaan jika adat tersebut tidak dilaksanakan maka masyarakat desa traji akan mengalami banyak kesulitan hidup seperti gagal panen, sumber air menjadi kecil, banyak orang sakit, sehingga tradisi ini terus dilestarikan. Adapun tradisi yang harus dihilangkan antara lain penggunaan sesaji dalam tradisi tersebut, karena sesaji yang disediakan hanya mengandung unsur mubazir semata.
Pada penulisan skripsi ini, penyusun menggunakan metode observasi dengan cara terlibat langsung ke masyarakat (penelitian lapangan) sehingga diperoleh data yang jelas untuk dianalisa dalam pandangan hukum Islam dan Hukum adat masyarakat Desa Traji. Melihat aspek-aspek penyesuaiannya dalam hukum Islam dan melihat aspek-aspek penyimpangan tradisi satu suro di desa traji tersebut dalam hukum Islam sehingga dapat diketahui kejelasan atau status hukum dari pelaksanaan tradisi tersebut. Penyusun berusaha memberikan solusi atau saran dalam rangka penyempurnaan terhadap tradisi yang dirasa aneh atau berbeda dengan daerah-daerah lain agar tidak terjadi ketimpangan dalam hal pelaksanaan ibadah.
Berdasarkan pendekatan dan metode yang digunakan, terungkap bahwa Tradisi Satu Suro di Desa Traji Kabupaten Temanggung keterpautan antara hukum adat dan hukum Islam dalam tradisi satu suro sangatlah erat, sebab ajaran Islam telah menjadi cara pandang masyarakat terhadap tradisi lama, bahkan hukum Islam sendiri telah menjadi adat sekaligus hukum adat bagi masyarakat.
Temanggung Prosesi
ritual "Sendang Sidukun" terlihat meriah dilakukan warga
Temanggung, Jawa Tengah menyambut malam tahun baru dalam kalender Jawa, 1 Sura
1941, Rabu (9/1) malam.
Ritual dipimpin Kepala Desa Traji, Hadi Waluyo (62) dengan didampingi istrinya, Sopiyah (56) di mata air "Sendang Sidukun" di desa itu diikuti ribuan warga baik dari Temanggung maupun beberapa daerah lain terutama di Jateng.
"Tidak hanya dari warga desa tetapi juga daerah lain seperti Demak, Tegal, Klaten, Yogyakarta, Semarang, Wonosobo, Kendal yang percaya akan tercapai cita-citanya dengan mengikuti ritual di sini pada malam ini," katanya.
Hadi didampingi istrinya mengenakan pakaian adat Jawa kebesaran kerajaan sedangkan puluhan warga lainnya terutama para lelaki baik perangkat desa maupun warga Traji mengenakan pakaian adat Jawa gaya Yogyakarta dalam prosesi tersebut.
Mereka berjalan kaki dari balai desa menuju mata air di pinggir Jalan Raya Parakan-Ngadirejo, Kabupaten Temanggung yang berjarak sekitar 500 meter sambil mengusung dengan tandu sesaji dan dua gunungan berisi hasil bumi masyarakat setempat.
Sesaji ritual itu antara lain jajan pasar, kembang, kemenyan, ingkung, kepala kambing, minuman sedangkan gunungan antara lain berupa kacang panjang, sawi, cabai, bawang merah, bawang putih, terong dan singkong.
Prosesi berlangsung sejak sekitar pukul 18.00 hingga 19.00 WIB. Meskipun aliran listrik sempat padam di kawasan itu, terkesan tidak mengurangi takzimnya acara tersebut. Mata air itu menjadi sumber penghidupan bagi para petani setempat. Jumlah penduduk setempat sekitar 3.600 jiwa atau 995 kepala keluarga.
Puluhan petugas polisi terlihat mengatur arus kendaraan dari dua arah yang padat melintasi kawasan itu. Berbagai kendaraan yang melintasi tempat itu tersendat hingga sepanjang sekitar lima kilometer, sedangkan ratusan pedagang berjajar di tepi kiri dan kanan jalan menggelar aneka dagangan seperti makanan, minuman, pakaian, permainan anak, dan cendera mata lainnya.
Di kolam dekat mata air itu terlihat ribuan orang berkumpul mengikuti pembacaan doa oleh Kades Hadi. Beberapa saat kemudian sejumlah sesaji dilemparkan ke dalam kolam diikuti puluhan orang yang terlihat menceburkan diri di dalam kolam itu untuk berebut sesaji.
Ratusan orang lainnya berebut aneka sesaji dan hasil bumi di dalam gunungan di dekat mata air. Mereka juga antre mendapatkan pembagian air dari mata air tersebut yang dilakukan juru kunci Sendang Sidukun, Sumari (64).
Setelah kembali ke balai desa, Hadi dan Sopiyah duduk berdampingan di aula dan mendapatkan penghormatan berupa sungkeman dari seluruh perangkat desa dan warga setempat. Pada kesempatan itu Hadi dan Sopiyah membagikan uang logam Rp500 kepada setiap orang yang sungkem sebagai simbol berkah atas ritual tersebut.
Hadi mengatakan, tradisi ritual Sendang Sidukun telah berlangsung sekitar 200 tahun, setiap malam 1 Suro. Masyarakat hingga saat ini memercayai akan mendapatkan rezeki melimpah, dagangan laris, tanaman pertanian subur, dan mereka yang menjadi pegawai dapat bekerja secara baik setelah mengikuti ritual tersebut.
"Dulu pernah ada rencana untuk menghapus tradisi ini, tetapi baru rencana saja masyarakat sudah menghadapi banyak kesulitan hidup seperti gagal panen, sumber air menjadi kecil, banyak orang sakit, sehingga tradisi budaya ini terus dilestarikan," katanya.
Keramaian kawasan Sendang Sidukun, Traji, katanya, telah berlangsung sejak tiga hari terakhir dan akan terus berlangsung hingga empat hari mendatang saat ditutup dengan pentas wayang kulit dengan dalang Ki Timbul Hadiprayitno dari Yogyakarta selama dua malam satu hari.
Setiap orang yang menjabat kepala desa setempat, katanya, harus memimpin ritual malam 1 Suro dengan mengenakan pakaian raja dan ratu Jawa.
Ia mengatakan, tradisi itu bermula dari kisah dalang wayang kulit bernama Garu dari Dusun Garon, Desa Traji pada masa lampau. Dia didatangi orang berpakaian bangsawan yang mengaku berasal dari Traji dan memintanya untuk mementaskan wayang kulit pada malam 1 Suro.
Setelah mementaskan wayang, ternyata orang berpakaian bangsawan yang tidak diketahui namanya itu membayar sang dalang tidak dibayar dengan uang tetapi dengan kunir satu nampan. Meskipun sempat terkejut, Garu menerima pemberian kunir itu.
Saat hendak pulang, Garu dipesan oleh orang itu untuk tidak menoleh sebelum tujuh langkah dari tempat itu. Tetapi Garu tidak mengindahkan pesan itu dengan hanya mengambil tiga buah kunir dan menoleh sebelum tujuh langkah.
"Saat menoleh ternyata orang itu sudah hilang, tempat itu berupa sendang atau kolam, dan tiga kunir berubah menjadi tiga batangan emas, Garu sadar yang minta wayang bukan sembarang orang, lalu dia pergi ke sesepuh Desa Traji dan meminta setiap Suro untuk pentas wayang di tempat itu, sampai sekarang tradisi itu terus berlangsung," katanya.
Ritual Sendang Sidukun, katanya, saat ini telah menjadi aset budaya Kabupaten Temanggung.
Ilham (57), warga Traji mengatakan, ritual itu sebagai wujud permohonan kepada Tuhan agar masyarakat setempat mendapatkan tenteram dan damai dalam hidup sehari-hari.
Di dekat mata air itu, katanya, terdapat patung Ganesha sehingga diduga tempat itu sebagai peninggalan zaman Hindu.
"Mungkin dulu tempat sesuci para pemuka agama zaman Hindu, ada juga batu mirip lumpang yang ada tutupnya," katanya. (*)
Ritual dipimpin Kepala Desa Traji, Hadi Waluyo (62) dengan didampingi istrinya, Sopiyah (56) di mata air "Sendang Sidukun" di desa itu diikuti ribuan warga baik dari Temanggung maupun beberapa daerah lain terutama di Jateng.
"Tidak hanya dari warga desa tetapi juga daerah lain seperti Demak, Tegal, Klaten, Yogyakarta, Semarang, Wonosobo, Kendal yang percaya akan tercapai cita-citanya dengan mengikuti ritual di sini pada malam ini," katanya.
Hadi didampingi istrinya mengenakan pakaian adat Jawa kebesaran kerajaan sedangkan puluhan warga lainnya terutama para lelaki baik perangkat desa maupun warga Traji mengenakan pakaian adat Jawa gaya Yogyakarta dalam prosesi tersebut.
Mereka berjalan kaki dari balai desa menuju mata air di pinggir Jalan Raya Parakan-Ngadirejo, Kabupaten Temanggung yang berjarak sekitar 500 meter sambil mengusung dengan tandu sesaji dan dua gunungan berisi hasil bumi masyarakat setempat.
Sesaji ritual itu antara lain jajan pasar, kembang, kemenyan, ingkung, kepala kambing, minuman sedangkan gunungan antara lain berupa kacang panjang, sawi, cabai, bawang merah, bawang putih, terong dan singkong.
Prosesi berlangsung sejak sekitar pukul 18.00 hingga 19.00 WIB. Meskipun aliran listrik sempat padam di kawasan itu, terkesan tidak mengurangi takzimnya acara tersebut. Mata air itu menjadi sumber penghidupan bagi para petani setempat. Jumlah penduduk setempat sekitar 3.600 jiwa atau 995 kepala keluarga.
Puluhan petugas polisi terlihat mengatur arus kendaraan dari dua arah yang padat melintasi kawasan itu. Berbagai kendaraan yang melintasi tempat itu tersendat hingga sepanjang sekitar lima kilometer, sedangkan ratusan pedagang berjajar di tepi kiri dan kanan jalan menggelar aneka dagangan seperti makanan, minuman, pakaian, permainan anak, dan cendera mata lainnya.
Di kolam dekat mata air itu terlihat ribuan orang berkumpul mengikuti pembacaan doa oleh Kades Hadi. Beberapa saat kemudian sejumlah sesaji dilemparkan ke dalam kolam diikuti puluhan orang yang terlihat menceburkan diri di dalam kolam itu untuk berebut sesaji.
Ratusan orang lainnya berebut aneka sesaji dan hasil bumi di dalam gunungan di dekat mata air. Mereka juga antre mendapatkan pembagian air dari mata air tersebut yang dilakukan juru kunci Sendang Sidukun, Sumari (64).
Setelah kembali ke balai desa, Hadi dan Sopiyah duduk berdampingan di aula dan mendapatkan penghormatan berupa sungkeman dari seluruh perangkat desa dan warga setempat. Pada kesempatan itu Hadi dan Sopiyah membagikan uang logam Rp500 kepada setiap orang yang sungkem sebagai simbol berkah atas ritual tersebut.
Hadi mengatakan, tradisi ritual Sendang Sidukun telah berlangsung sekitar 200 tahun, setiap malam 1 Suro. Masyarakat hingga saat ini memercayai akan mendapatkan rezeki melimpah, dagangan laris, tanaman pertanian subur, dan mereka yang menjadi pegawai dapat bekerja secara baik setelah mengikuti ritual tersebut.
"Dulu pernah ada rencana untuk menghapus tradisi ini, tetapi baru rencana saja masyarakat sudah menghadapi banyak kesulitan hidup seperti gagal panen, sumber air menjadi kecil, banyak orang sakit, sehingga tradisi budaya ini terus dilestarikan," katanya.
Keramaian kawasan Sendang Sidukun, Traji, katanya, telah berlangsung sejak tiga hari terakhir dan akan terus berlangsung hingga empat hari mendatang saat ditutup dengan pentas wayang kulit dengan dalang Ki Timbul Hadiprayitno dari Yogyakarta selama dua malam satu hari.
Setiap orang yang menjabat kepala desa setempat, katanya, harus memimpin ritual malam 1 Suro dengan mengenakan pakaian raja dan ratu Jawa.
Ia mengatakan, tradisi itu bermula dari kisah dalang wayang kulit bernama Garu dari Dusun Garon, Desa Traji pada masa lampau. Dia didatangi orang berpakaian bangsawan yang mengaku berasal dari Traji dan memintanya untuk mementaskan wayang kulit pada malam 1 Suro.
Setelah mementaskan wayang, ternyata orang berpakaian bangsawan yang tidak diketahui namanya itu membayar sang dalang tidak dibayar dengan uang tetapi dengan kunir satu nampan. Meskipun sempat terkejut, Garu menerima pemberian kunir itu.
Saat hendak pulang, Garu dipesan oleh orang itu untuk tidak menoleh sebelum tujuh langkah dari tempat itu. Tetapi Garu tidak mengindahkan pesan itu dengan hanya mengambil tiga buah kunir dan menoleh sebelum tujuh langkah.
"Saat menoleh ternyata orang itu sudah hilang, tempat itu berupa sendang atau kolam, dan tiga kunir berubah menjadi tiga batangan emas, Garu sadar yang minta wayang bukan sembarang orang, lalu dia pergi ke sesepuh Desa Traji dan meminta setiap Suro untuk pentas wayang di tempat itu, sampai sekarang tradisi itu terus berlangsung," katanya.
Ritual Sendang Sidukun, katanya, saat ini telah menjadi aset budaya Kabupaten Temanggung.
Ilham (57), warga Traji mengatakan, ritual itu sebagai wujud permohonan kepada Tuhan agar masyarakat setempat mendapatkan tenteram dan damai dalam hidup sehari-hari.
Di dekat mata air itu, katanya, terdapat patung Ganesha sehingga diduga tempat itu sebagai peninggalan zaman Hindu.
"Mungkin dulu tempat sesuci para pemuka agama zaman Hindu, ada juga batu mirip lumpang yang ada tutupnya," katanya. (*)
Dalam prosesi
tersebut kepala Desa Traji Hadi Waluyo (63) beserta istri Sopiyah (57)
mengenakan pakaian adat jawa kebesaran kerajaan (Red-Seperti
Penganten) sedangkat para perangkat desa mengenakan pakaian adat jawa
ala Yogyakarta. Oleh sebab itu masyarakat sekitar kerap menyebut prosesi
tersebut dengan istilah ‘Nikahannya Pak Lurah’
Sekitar Pukul 18.00
wib Penganten (kepala Desa Dan Istri) beserta perangkat desa diarak
bersama gunungan dan sesajen. Rute arak arak-kan di mulai dari kantor
kepala desa Traji terus berjalan kaki menuju ‘Sendang Sidhukun’ yang
berjarak sekitar 500 meter.
Setelah ritual
selesai, Kepala Desa berserta istrinya kembali ke Balai Desa, mereka
duduk berdampingan di aula dan mendapatkan penghormatan berupa sungkeman
dari seluruh perangkat desa dan warga setempat. Pada kesempatan itu
mereka membagikan uang logam kepada setiap orang yang sungkem sebagai
simbol berkah atas ritual tersebut.
Dan pada minggu
malam 27/11/2011 acara dilanjutkan dengan pagelaran wanyang kulit
semalam suntuk yang berlangsung sampai senin malam 28/11/2011 sebagai
puncak acara dari semua ritual yang ada.
0 komentar:
Posting Komentar