Peringatan malam 1 suro yang digelar keluarga dan kerabat Keraton Kanoman, Jumat malam, 18 Desember kemarin dimulai dengan ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon.
Serasa kembali ke masa kerajaan dulu, dengan menaiki replika kereta Paksi Nagaliman (kereta yang kerap di gunakan Sunan Gunung Jati pada masa kejayaannya), Pangeran Raja Muhammad Emiruddin, diiringi para kerabat, keluarga, serta para abdi keraton yang mengawal dengan berjalan kaki mengarak kereta ke area pemakanan Sunan Gunung Jati.
”Tahun-tahun sebelumnya, memang tidak ada kegiatan ziarah kemakam Gunung Jati. Namun, pada tahun ini, kami mencoba mengembalikan tradisi yang pernah dilakukan pada leluhur kami,”papar juru bicara keraton Kanoman, Ratu Arimbi saat ditemui disela kegiatan.
Menurut Arimbi, ziarah dimaksudkan untuk doa bersama agar seluruh penerus keluarga Keraton di berikan keselamatan pada tahun mendatang. Tak lupa, dalam prosesi ini juga turut mendoakan keselamatan negara dari berbagai bencana dan cobaan.
Sebelum berziarah, Keraton menggelar pembacaan Babad Cirebon. Prosesi ini dilakukan Pangeran Kumisi atau seorang pejabat berpangkat satu tingkat dibawah Patih didampingi tujuh orang Panca Pitu (abdi dalem keraton yang selalu mengiringi setiap ritual) serta tujuh orang penghulu Masjid Agung Kasepuhan.
Beberapa tahun lalu, pembacaan Babad Cirebon kerap di gelar di Bangsal Witana yang berada di bagian belakang keraton. Konon, bangsal ini merupakan bangunan pertama yang berdiri di Cirebon. Namun, lima tahun ini pembacaan babad Cirebon di gelar di bagian tengah keraton yakni di Bangsal Made Mastaka yang dulu dijadikan sebagai singasana raja.
”Pembacaan babad Cirebon dialihkan ke Bangsal Made Mastaka sekitar 4 tahun lalu. Ini dilakukan setelah pemerintah kota Cirebon mengikuti kegiatan ini yang bertepatan dengan ulang tahun kota Cirebon,”papar Arimbi.
Prosesi pembacaan Babad Cirebon, terasa sakral saat pangeran kumisi memasuki Bangsal Made Mastaka. Dengan didampingi tujuh orang Panca Pitu dan tujuh orang penghulu Masjid Agung Kasepuhan, yang membawa empat lilin besar sebagai penerang prosesi pembacaan.
Prosesi ini pun dihadiri seluruh Muspida Kota Cirebon, serta para tamu undangan, dan ratusan masyarakat Cirebon yang sengaja ingin menyaksikan prosesi pembacaab Babad.
Babad Cirebon dikutip dari kitab Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Wangsa Kerta pada tahun 1669. Kitab berbahasa Cirebon kuno ini, menceritakan tentang asal-usul Cirebon dan kisah pendiri Keraton Kanoman dan sedikit menyinggung keberadaan Keraton Kasepuhan, Kacirebon dan Keprabonan.
Pangeran Walangsungsang dan Ratu Mas Rarasantang yang merupakan putra-putri Prabu Siliwangi, bermaksud ingin mempelajari agama islam. Pengembaraan keduanya hingga masuk ke Pesisir utara pulau Jawa. Mereka menemui sejumlah ulama islam. Kisah perjalanan paman dan ibu Sunan Gunung Jati hingga membuka sebuah padepokan bernama Caruban atau Cirebon, menjadi pokok cerita dalam tradisi pembacaan babad Cirebon ini.
Tamu undangan dan masyarakat yang menghadiri acara tersebut, tidak seluruhnya dapat masuk kedalam bangsal. Namun, pihak keraton memfasilitasi mereka dengan memasang layar lebar tepat di bagian depan keraton.
SUNAN GUNUNG DJATI
Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayattullah
1. ASAL USUL.
Sebelum
era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar
dari Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang
muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih
dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah,
putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang
dan adiknya Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi yangsama
.Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad
yang mengajarkan agama Islam.
Wajah
Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam demikian
mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu.Tapi mimpi itu hanya
terjadi tiga kali.
Seperti
orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak lagi, air
yang akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah
mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk
Kahfi yang membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan
maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi,
mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW.
Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Pangeran
Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana
dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah
berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang
diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian
selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda
sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu
dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap
dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai
Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar
Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang
yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau
keturunan, banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut,
sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu
dalam bahasa Sunda disebut Caruban.Maka Legal Alang-alang disebut
Caruban.
Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis yang terkenal.
Dalam
bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun
kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah
dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang di
perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di
Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di rumah seorang
ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.
Sewaktu
mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu
dengan seorang Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama
menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik pada wajah Rarasantang
yang mirip mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah.
Rarasantang
dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah
pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti
dengan Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif
Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Pangeran
Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang
ke Jawa dan mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang
adalah perluasan dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya
menggunakan azas Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan
putri Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati.
Dalam
waktu singkat Negeri Caruban Larang telah terkenal ke seluruh Tanah
Jawa, terdengar pula oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa
Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut dipimpin putranya
sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau hatinya kurang berkenan.
Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan putranya, bahkan
sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara
itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya.
Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi
anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan
ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat.
Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif
Nurullah.
Sewaktu
berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa
ulama besar didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah
sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia
tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
2. PERJUANGAN SUNAN GUNUNG JATI.
Sering
kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif
Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap
Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar
adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah
seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan
Gunungjati.
Sedang
Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana
membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti
bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan
Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau
Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya
Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun
1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah
pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana
dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana
dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar
selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta agar
diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh
Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif
Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah
saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi
Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun
1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan
kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar
Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun
pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran
untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak
masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau
masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di
wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan
ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan
banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat
itu.
Kedatangan
Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif
Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi
Kawungten.
Dari
perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai dua orang
putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam
menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah
dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau
juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan
Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan
Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang
pertama dengan gelar Sultan.
Dengan
berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja
Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu
maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki
Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang
dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi
usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak
kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif
Hidayayullah.
Dengan
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain
seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan
diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih
dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah
pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing
datang menjalin persahabatan.
Diantaranya
dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin
dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma
Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan
Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri
Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat
itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang
Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri
Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan
dalam dunia perdagangan.
Sesudah
kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi
Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali
putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar
barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina
itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman.
Istana
dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan
motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang
Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati
atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan
banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang
dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat
penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan
ummat.
Selesai
membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk
memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu
Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon
yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin
terhimpit.
Pada
tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka
ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang
jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro
tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu
Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk
menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil,
persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan
benteng yang kuat di Malaka.
Ketika
Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka)
bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman
lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin
menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden
Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati
Unus atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah
pemberontakan pemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha
memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia,
gugur sebagai pejuang sahid.
Pada
tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden
Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah
Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan
mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah
yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus
mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya
menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju
Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.
Mengapa
Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam
pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis
menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai
Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa
Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan
Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan
kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan
itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur
di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat
Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan
setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya
Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan
Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah
ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu
sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena
Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran
Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi
penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah
kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama
Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan
Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam
lebih merata di Jawa Barat.
Berturut-turut
Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang
dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh
yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama.Raja Galuh ini bernama
Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban.
Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan
senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan
demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati
memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan
Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah
selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke.
Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat
putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua
dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon
sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat
sang Sultan.
Sunan
Gunung Jati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di
Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak
pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia
mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada
Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan
kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan
sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati.Yaitu Adipati
Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat
sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan
Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama
ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung.
Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan
ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa
diperantarai apapun juga. Demikianlah riwayat perjuangan Sunan Gunung
jati
Tulisan disadur untuk mengingat kembali sejarah Cirebon
0 komentar:
Posting Komentar